MAKALAH :
UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN
DI
SMK KELOMPOK TEKNOLOGI DAN REKAYASA
BAB I. PENDAHULUAN.
Jika kita bandingkan pendidikan yang
sedang dilaksanakan di negara kita dengan Negara tetangga , sebut saja Malaysia
, Mianmar, Vietnam maka pendidikan di Negara kita terasa ketinggalan. Malaysia yang dulunya banyak
belajar dari Indonesia
justru sekarang keadaannya berbalik arah. Sudah banyak para pakar pendidikan
berbicara masalah kemerosotan mutu Pendidikan di Indonesia dengan segala hasil
penelitian ilmiahnya dan solusi yang diberikan. Pemerintah juga telah berusaha
semaksimal mungkin agar Pendidikan disemua lini bisa dilaksanakan mulai dari
tingkat Usia Dini, Dasar , Menengah, Atas sampai ke Perguruan Tinggi. Bahkan
dipertegas lagi dengan lahirnya Undang undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 Tahun 2003 . Pada pasal 1 ayat 2 dari
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi : “
Pendidikan Nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai Agama , Kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman “. Kemudian pada pasal 5 ayat 1 berbunyi: “ Setiap warga Negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu “
Namun
masih muncul pertanyaan , Apakah pelaksanaan Pendidikan di Indonesia saat ini
telah menghasilkan mutu yang baik ? Berbagai upaya memang terus dilakukan
pemerintah bahkan sejak 10 tahun terakhir ini. Hasilnya cukup membanggakan
untuk bebagai sekolah tertentu dan di kota
tertentu di Indonesia
tetapi belum merata secara Nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa solusi yang
dilaksanakan selama ini mungkin saja belum menyentuh akar permasalahan.
Sejak tahun 1980-an proyek itu telah dilaksanakan pemerintah,
menyusul pula proyek baru yang siap diluncurkan. Di antaranya proyek
Pengembangan Kurikulum, Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu
(BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek
Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal
Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah
proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan
anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu
pendidikan
Kini, berbagai elemen masyarakat mempertanyakan mengapa upaya
yang begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada yang berpendapat mungkin manajemennya
yang kurang tepat dan ada pula yang mengatakan bahwa pemerintah kurang
konsisten dengan upaya yang dijalankan. Bahkan saat ini program baru terus dimunculkan seperti bantuan untuk
sekolah Standar Nasional ( SN ) dan Sekolah Berstandar Internasional ( SBI ) dan sekolah Model yang kesemuanya
itu diharapkan akan menghasilkan “produk “ yaitu siswa menjadi tamatan yang
bermutu dan siap bersaing di era globalisasi ini.
1. Memberikan Penghargaan
Mc. Keena & Beech (1995 : 161) dalam bukunya “Manajemen Sumber Daya Manusia” mengatakan, penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan SDM karena diperlukan untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan karir).
Abraham H. Maslow mengatakan manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang memilikilima tingkatan (hierarchy of needs) yakni,
mulai dari kebutuhan fisiologis
(pangan, sandang dan papan), kebutuhan
rasa aman ( terhindar dari rasa takut akan gangguan keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat), kebutuhan yang mencerminkan harga diri,
dan kebutuhan mengaktualisasikan diri
di tengah masyarakat.
Guru sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat.
Mc. Keena & Beech (1995 : 161) dalam bukunya “Manajemen Sumber Daya Manusia” mengatakan, penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan SDM karena diperlukan untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan karir).
Abraham H. Maslow mengatakan manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang memiliki
Guru sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat.
2. Tingkatkan Profesionalisme
Kecanggihan kurikulum dan panduan manajemen sekolah tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesinalisme guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri, legislatif, dan pemerintah adalah hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan bijaksana.
Konsep tentang guru profesional ini selalu dikaitkan dengan pengetahuan tentang wawasan dan kebijakan pendidikan, teori belajar dan pembelajaran, penelitian pendidikan (tindakan kelas), evaluasi pembelajaran, kepemimpinan pendidikan, manajemen pengelolaan kelas/sekolah, serta tekhnologi informasi dan komunikasi. Sebagian besar tentang indikator itu sudah diperoleh di LPTK antara lain IKIP, FKIP, dan STKIP non-refreshing.
Fenomena menunjukkan bahwa mutu profesionalisme guru kita masih rendah. Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap sebagai faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat karena ketidakmampuan guru secara financial dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.
Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan mutlak diperlukan karena terbatasnya anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru. Program pelatihan ini dimaksudkan untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour) atau dengan istilah lain guru yang memiliki kompetensi.
UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Uraian pasal 42 itu cukup jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai tahapan awal harus memenuhi persyaratan kualifikasi minimal (latar belakang pendidikan keguruan/umum dan memiliki akta mengajar). Setelah guru memenuhi persyaratan kualifikasi, maka guru akan dan sedang berada pada tahapan kompetensi. Namun, fenomena menunjukkan bahwa pendidik di sekolah masih banyak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.
Kecanggihan kurikulum dan panduan manajemen sekolah tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesinalisme guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri, legislatif, dan pemerintah adalah hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan bijaksana.
Konsep tentang guru profesional ini selalu dikaitkan dengan pengetahuan tentang wawasan dan kebijakan pendidikan, teori belajar dan pembelajaran, penelitian pendidikan (tindakan kelas), evaluasi pembelajaran, kepemimpinan pendidikan, manajemen pengelolaan kelas/sekolah, serta tekhnologi informasi dan komunikasi. Sebagian besar tentang indikator itu sudah diperoleh di LPTK antara lain IKIP, FKIP, dan STKIP non-refreshing.
Fenomena menunjukkan bahwa mutu profesionalisme guru kita masih rendah. Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap sebagai faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat karena ketidakmampuan guru secara financial dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.
Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan mutlak diperlukan karena terbatasnya anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru. Program pelatihan ini dimaksudkan untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour) atau dengan istilah lain guru yang memiliki kompetensi.
UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Uraian pasal 42 itu cukup jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai tahapan awal harus memenuhi persyaratan kualifikasi minimal (latar belakang pendidikan keguruan/umum dan memiliki akta mengajar). Setelah guru memenuhi persyaratan kualifikasi, maka guru akan dan sedang berada pada tahapan kompetensi. Namun, fenomena menunjukkan bahwa pendidik di sekolah masih banyak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.
3, Sediakan Sarana dan
Prasarana
Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata, atau minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga mutu pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu di beberapakota di Indonesia saja yang memenuhi
persyaratan SPM, umumnya sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta
ini, keterbatasan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah tertentu,
pengadaannya selalu dibebankan kepada masyarakat. Alasannya pun telah
dilegalkan berdasarkan Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas No. 20/2003
pasal 56 ayat (1). Dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah, ayat (2) Dewan pendidikan, sebagai
lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan
pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana
dan prasarana, serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat (3) Komite
sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.
Menyikapi keadaan yang demikian sulit, apalagi kondisi negara yang kian kritis, solusi yang ditawarkan adalah manfaatkan seluruh potensi sumber daya sekolah dan masyarakat sekitar, termasuk memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah. Mudah-mudahan dengan sistem anggaran pendidikan yang mengacu pada UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 46 dan 49 permasalahan ini dapat diatasi dengan membangun kebersamaan dan kepercayaan antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata, atau minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga mutu pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu di beberapa
Menyikapi keadaan yang demikian sulit, apalagi kondisi negara yang kian kritis, solusi yang ditawarkan adalah manfaatkan seluruh potensi sumber daya sekolah dan masyarakat sekitar, termasuk memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah. Mudah-mudahan dengan sistem anggaran pendidikan yang mengacu pada UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 46 dan 49 permasalahan ini dapat diatasi dengan membangun kebersamaan dan kepercayaan antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
4. Berantas Korupsi
Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas merupakan lembaga pemerintah terkorup kedua setelah Departemen Agama. Kemudian Laporan ICW menyebutkan bahwa korupsi dalam dunia pendidikan dilakukan secara bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi berjamaah) dalam berbagai jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Pelakunya mulai dari guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjadi benteng pertahanan yang menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertotonkan praktik korupsi kepada peserta didik.
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dar kekaburan sistem anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerapkan konsep yang berpijak pada akar masalah.
Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas merupakan lembaga pemerintah terkorup kedua setelah Departemen Agama. Kemudian Laporan ICW menyebutkan bahwa korupsi dalam dunia pendidikan dilakukan secara bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi berjamaah) dalam berbagai jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Pelakunya mulai dari guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjadi benteng pertahanan yang menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertotonkan praktik korupsi kepada peserta didik.
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dar kekaburan sistem anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerapkan konsep yang berpijak pada akar masalah.
BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN
PEMBAHASAN
Sebenarnya pada setiap kesempatan dalam kehidupan ini, pikiran selalu berkembang. Yang jadi permasalahan dan yang akan dibahas disini secara spesifik adalah pengembangan pikiran yang terarah (positif) serta luas (comprehensive), utuh dan menyatu (terintegrasi).
Walaupun sulit untuk memberikan contohnya, tetapi sebagai gambaran singkat bahwa seseorang yang berpikiran positif, comprehensive dan terintegrasi ini dapat dinilai dari kemampuannya dalam menyikapi berbagai permasalahan dengan tepat dan akurat, memperlihatkan sikap dewasa, kearifan dan obyektifitas yang tinggi dalam bersikap dan membuat keputusan atau menjawab persoalan-persoalan sehingga orang lain menganggap dan menilainya bijaksana.
Tentunya sikap dan pola berpikir yang seperti ini (yang bijaksana) tidak bisa hanya semata-mata mengandalkan kecerdasan dan kecepatan berpikir secara rasional saja, akan tetapi sudah merupakan satu kesatuan dari sikap dan pola berpikir, wawasan dari segala aspek yang ada, kematangan mental dan emosional dan segala hal yang terkait secara berimbang. Untuk memiliki kemampuan berpikir dan bersikap seperti itu, ada dua hal yang berperan besar dan menjadi faktor penentu mutu akhirnya, yaitu:
* Faktor bawaan / bakat, dan
* Faktor pendidikan (dalam pengertian luas).
Saya tidak ingin membahas panjang mengenai permasalahan faktor bawaan / bakat disini, secara singkat saya cuma bisa katakan bahwa:
"Buah mangga yang baik tidak mungkin berasal dari pohon mangga yang kering dan sakit".Menurut saya, mengerti "Siapa kita sebenarnya?", memang memiliki peran penting tersendiri sebagai pijakan kita untuk bersikap dan berpikir kedepan.Akan tetapi hal tersebut hanya akan dapat tercapai dengan sendirinya jika kita telah memiliki kesadaran yang baik dan tinggi.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya lebih cenderung berpendapat bahwa faktor kedua yaitu faktor Pendidikan yang harus lebih kita utamakan dan dijadikan fokus perhatian . Untuk memperkecil luang lingkup, maka pada kesempatan ini saya batasi permasalahan khusus pada Sekolah Menengah Kejuruan Kelompok Teknologi dan Rekayasa.
Sebenarnya pada setiap kesempatan dalam kehidupan ini, pikiran selalu berkembang. Yang jadi permasalahan dan yang akan dibahas disini secara spesifik adalah pengembangan pikiran yang terarah (positif) serta luas (comprehensive), utuh dan menyatu (terintegrasi).
Walaupun sulit untuk memberikan contohnya, tetapi sebagai gambaran singkat bahwa seseorang yang berpikiran positif, comprehensive dan terintegrasi ini dapat dinilai dari kemampuannya dalam menyikapi berbagai permasalahan dengan tepat dan akurat, memperlihatkan sikap dewasa, kearifan dan obyektifitas yang tinggi dalam bersikap dan membuat keputusan atau menjawab persoalan-persoalan sehingga orang lain menganggap dan menilainya bijaksana.
Tentunya sikap dan pola berpikir yang seperti ini (yang bijaksana) tidak bisa hanya semata-mata mengandalkan kecerdasan dan kecepatan berpikir secara rasional saja, akan tetapi sudah merupakan satu kesatuan dari sikap dan pola berpikir, wawasan dari segala aspek yang ada, kematangan mental dan emosional dan segala hal yang terkait secara berimbang. Untuk memiliki kemampuan berpikir dan bersikap seperti itu, ada dua hal yang berperan besar dan menjadi faktor penentu mutu akhirnya, yaitu:
* Faktor bawaan / bakat, dan
* Faktor pendidikan (dalam pengertian luas).
Saya tidak ingin membahas panjang mengenai permasalahan faktor bawaan / bakat disini, secara singkat saya cuma bisa katakan bahwa:
"Buah mangga yang baik tidak mungkin berasal dari pohon mangga yang kering dan sakit".Menurut saya, mengerti "Siapa kita sebenarnya?", memang memiliki peran penting tersendiri sebagai pijakan kita untuk bersikap dan berpikir kedepan.Akan tetapi hal tersebut hanya akan dapat tercapai dengan sendirinya jika kita telah memiliki kesadaran yang baik dan tinggi.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya lebih cenderung berpendapat bahwa faktor kedua yaitu faktor Pendidikan yang harus lebih kita utamakan dan dijadikan fokus perhatian . Untuk memperkecil luang lingkup, maka pada kesempatan ini saya batasi permasalahan khusus pada Sekolah Menengah Kejuruan Kelompok Teknologi dan Rekayasa.
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek )
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek )
Selain
manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah
membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu
berperan dalam persaingan global, maka kita perlu terus mengembangkan dan
meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia ( SDM ) . Oleh karena itu, peningkatan mutu
SDM merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah,
intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin
bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK ) kelompok Teknologi dan Rekayasa adalah lembaga pendidikan yang berada pada barisan paling depan dalam peningkatan SDM menghadapi tantangan perkembangan iptek tersebut. Saat ini pemerintah pusat sangat gencar mempromosikan SMK dengan harapan semakin banyak siswa tamatan SLTP untuk melanjutkan pendidikannya ke SMK.
Berbicara mengenai mutu SDM, pendidikan dibidang Teknologi dan Rekayasa memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan mutu SDM di SMK. Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan mutu sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan mutu sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta telah dan terus berupaya mewujudkan hal tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih bermutu antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK ) kelompok Teknologi dan Rekayasa adalah lembaga pendidikan yang berada pada barisan paling depan dalam peningkatan SDM menghadapi tantangan perkembangan iptek tersebut. Saat ini pemerintah pusat sangat gencar mempromosikan SMK dengan harapan semakin banyak siswa tamatan SLTP untuk melanjutkan pendidikannya ke SMK.
Berbicara mengenai mutu SDM, pendidikan dibidang Teknologi dan Rekayasa memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan mutu SDM di SMK. Peningkatan mutu pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan mutu sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan mutu sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta telah dan terus berupaya mewujudkan hal tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih bermutu antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Tetapi pada
kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan mutu
pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan dengan
Nilai Evaluasi Belajar yang masih rendah ( NEM ) dan masih kecilnya presentase
tamatan SMK yang bisa buka usaha sendiri melanjutkan ke Perguruan Tinggi atau
bekerja di Dunia Usaha / Dunia Industri.
B. Pembahasan Masalah
Ada tiga faktor yang dapat menjelaskan
mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan di SMK selama ini kurang atau tidak
berhasil.
Pertama, strategi pembangunan pendidikan selama ini
lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada
asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan
buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan,
pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga
pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu
sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan
oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi
sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam
institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan di tingkat sekolah ( mikro ), seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Ketiga adalah optimalisasi dan Evaluasi pemafaatan fasilitas input pendidikan. Sudah banyak buku yang diadakan oleh pemerintah, namun dari hasil pantauan kami, minat baca siswa masih sangat kurang. Jumlah siswa yang masuk perpustakaan untuk mencari referensi atau menambah wawasan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah siswa yang masuk “ kantin “ ( hasil pengamatan langsung ). Disamping itu juga referensi buku yang ada di pustaka masih belum seiring dengan perkembangan iptek. Demikian juga dengan jumlah dan kualitas peralatan praktek yang notabene berdampak langsung terhadap optimalisasi kempetensi siswa yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan SDM tamatan itu sendiri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan di tingkat sekolah ( mikro ), seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Ketiga adalah optimalisasi dan Evaluasi pemafaatan fasilitas input pendidikan. Sudah banyak buku yang diadakan oleh pemerintah, namun dari hasil pantauan kami, minat baca siswa masih sangat kurang. Jumlah siswa yang masuk perpustakaan untuk mencari referensi atau menambah wawasan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah siswa yang masuk “ kantin “ ( hasil pengamatan langsung ). Disamping itu juga referensi buku yang ada di pustaka masih belum seiring dengan perkembangan iptek. Demikian juga dengan jumlah dan kualitas peralatan praktek yang notabene berdampak langsung terhadap optimalisasi kempetensi siswa yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan SDM tamatan itu sendiri.
Dari
permasalahan tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan
pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan
tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input
pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu
tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan
(school resources are necessary but not sufficient condition to improve student
achievement).
Disamping itu
mengingat Sekolah Menengah Kejuruan sebagai unit pelaksana pendidikan formal
terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan
pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya,
maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk
mengupayakan peningkatan mutu/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan
jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk
mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan
kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar
proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur
dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi
keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini
telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu
pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling
depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan
manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality
Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental)
disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan mutu pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan mutu pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
2.Tujuan
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan
tujuan;
1. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis
1. Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah khususnya kepada
masyarakat.
2. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkunganIndonesia yang memiliki keragaman
kultural, sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
3. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
4. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing - masing.
5. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
6. Memotivasi timbulnya pemikiran - pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
7. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
8. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan.
Pengertian Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah.
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru diIndonesia , yang
merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond , 1979). Beberapa indikator yang
menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i)
lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memilki misi dan target
mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv)
adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan
staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf
sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan
evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif,
dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya
komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan
konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan
masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan
keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan
oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya
perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru
dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang,
memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan
evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh
pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu
ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang bermutu/bermutu
bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan mutu total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan mutu total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) mutu/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.
Pengertian mutu
Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai . Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Kerangka kerja dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;
Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk : (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional.Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam
kegiatan ini yaitu;
* pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
* bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
* pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
Konsekwensi logis dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk:
* mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.
* Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu.
* Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan (pertanggung jawaban kepada stake-holders).
Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman kepada kita bahwa tanggung jawab peningkatan mutu pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.
Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa hanya sekolah yang sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan.
Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatifbaku
atau standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otorits pendiidikan
lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan
kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan
masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan
pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah
proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap
komunitas masyarakat.
Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.
Strategi pelaksanan di tingkat sekolah
Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :
* Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
* Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.
* Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang bermutu bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
* Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya. Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah ini harus mencakup indikator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapa yang akan menyampaikannya.
Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk melaksankan program. Oleh karena itu, sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dimungkinkan bahwa program tertentu lebih penting dari program lainnya dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorong sekolah untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut. Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan preralatan bukan kepada output pembelajaran. Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen tersebut sekolah harus membuat skala prioritas yang mengacu kepada program-program pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses pendanaan harus bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan harus merefleksikan kebijakan dan prioritas tersebut. Anggaran harus jelas terkait dengan program yang mendukung pencapaian target mutu. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan pada perencanaan sebelum sejumlah program dan pendanaan disetujui atau ditetapkan.
* Prioritas seringkali tidak dapat dicapai dalam rangka waktu satu tahun program sekolah, oleh karena itu sekolah harus membuat strategi perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci kebijakan dan prioritas. Perencanaan jangka panjang ini dapat dinyatakan sebagai strategi pelaksanaan perencanaan yang harus memenuhi tujuan esensial, yaitu : (i) mampu mengidentifikasi perubahan pokok di sekolah sebagai hasil dari kontribusi berbagai program sekolah dalam periode satu tahun, dan (ii) keberadaan dan kondisi natural dari strategi perencanaan tersebut harus menyakinkan guru dan staf lain yang berkepentingan (yang seringkali merasakan tertekan karena perubahan tersebut dirasakan harus melaksanakan total dan segera) bahwa walaupun perubahan besar diperlukan dan direncanakan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa, tetapi mereka disediakan waktu yang representatif untuk melaksanakannya, sementara urutan dan logika pengembangan telah juga disesuaikan. Aspek penting dari strategi perencanaan ini adalah program dapat dikaji ulang untuk setiap periode tertentu dan perubahan mungkin saja dilakukan untuk penyesuaian program di dalam kerangka acuan perencanaan dan waktunya.
* Melakukan monitoring dan evaluasi untuk menyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan, apakah tujuan telah tercapai, dan sejauh mana pencapaiannya. Karena fokus kita adalah mutu siswa, maka kegiatan monitoring dan evaluasi harus memenuhi kebutuhan untuk mengetahui proses dan hasil belajar siswa. Secara keseluruhan tujuan dan kegiatan monitoring dan evaluasi ini adalah untuk meneliti efektifitas dan efisiensi dari program sekolah dan kebijakan yang terkait dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Seringkali evaluasi tidak selalu bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, oleh karenanya selain hasil evaluasi juga diperlukan informasi lain yang akan dipergunakan untuk pembuatan keputusan selanjutnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program di masa mendatang. Demikian aktifitas tersebut terus menerus dilakukan sehingga merupakan suatu proses peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Penutup
Beragamnya kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan kondisi geografiIndonesia yang
sangat kompleks, seringkali tidak dapat diapresiasikan secara lengkap oleh
birokrasi pusat. Oleh karena itu di dalam proses peningkatan mutu pendidikan
perlu dicari alternatif pengelolaan sekolah. Hal ini mendorong lahirnya konsep
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Manajemen alternatif ini
memberikan kemandirian kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan, tetapi masih tetap mengacu kepada kebijakan
nasional. Konsekwensi dari pelaksanaan program ini adanya komitmen yang tinggi
dari berbagai pihak yaitu orang tua/masyarakat, guru, kepala sekolah, siswa dan
staf lainnya di satu sisi dan pemerintah (Depdikbud) di sisi lainnya sebagai
partner dalam mencapai tujuan peningkatan mutu.
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program, sekolah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.inilah yang dapat lebih diandalkan untuk mengembangkan pikiran menjadi lebih baik sampai menyatu dalam sikap, sehingga baru menjadi suatu tingkat kesadaran.
Proses pendidikan itu sendiri bisa ditempuh melalui dua cara dalam lingkungan yang berbeda, yaitu:
1. Pendidikan Formal
Yang dimaksud dengan pendidikan formal adalah proses pendidikan dengan cara dan dalam lingkungan sekolah.
Pendidikan formal sangat memegang peranan penting dalam proses mengembangkan pikiran seseorang, sehingga karena itu pula seorang Taoyupun diharapkan berpendidikan yang tinggi.
Adapun alasannya adalah karena pendidikan disekolah:
* Membentuk dasar atau pondasi cara-cara / pola berpikir yang sistematis dan konseptual secara konsisten dan terarah.
* Mengajarkan banyak disiplin ilmu dengan berbagai teori-teori dan ilmu pengetahuan yang ada sehingga wawasan dan pengetahuan menjadi banyak dan luas.
* Melatih dan menanamkan sikap mental dan emosional yang matang, dewasa dan mandiri. Sehingga bisaanya seorang yang berpendidikan tinggi lebih dapat mengendalikan sikap dan emosinya secara baik.
* Menanamkan disiplin belajar yang sangat tinggi, sehingga seseorang yang berpendidikan akan lebih terbisaa untuk belajar dan belajar lagi.
Dalam ruang lingkup bahwa pendidikan formal ini sangat penting, pernah ada perdebatan sebagai berikut:
Debat :Ada
pepatah " Pengalaman adalah guru yang terbaik ", apakah Anda setuju?
Jawab : Oh..., tentu saya setuju sekali!
Debat : Jika demikian maka sekolah itu sebenarnya tidak penting bahkan hanya membuang waktu dan biaya, yang paling penting adalah praktek dan pengalaman! Bukankah demikian?
Jawab : ..........
Bagaimana jawaban anda?
Pendidikan formal memang penting, tetapi tentunya bisa disadari bahwa sekolahpun bukan satu-satunya tempat untuk mendapatkan pendidikan, selain itu pendidikan formal yang ada itupun harus disadari bukan sebagai hal yang paling mutlak sekali. Masih banyak hal yang tidak bisa didapatkan hanya dari pendidikan formal saja dan banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi sikap mental dan cara / pola berpikir seorang individu diluar sekolah.
2. Pendidikan Non-formal
Ini adalah segala pendidikan yang didapat diluar pendidikan formal. Dapat dikatakan bahwa kehidupan didalam masyarakatlah (termasuk keluarga) yang merupakan bangku sekolah dari pendidikan non-formal ini.
Oleh karenanya pendidikan non-formal ini bersifat tak terbatas dan bisaanya cenderung bersifat hal-hal yang praktis.
Di dalam masyarakat inilah seseorang menjalani kehidupan yang sebenarnya, terjun dan mempraktekkan segala kemampuan berpikir, bersikap dan bersosialisasi secara nyata dalam lingkungannya.
Disini pula seseorang akan mendapatkan pendidikan dalam sangat banyak hal serta pengalaman pribadi dan akan lebih melengkapi dirinya dari apa yang tidak didapatkan dari bangku sekolahnya.
Konsep rumus meningkatkan mutu pendidikan seperti yang telah diuraikan di atas salah satu solusi yang terabaikan. Konsep lama itu bukanlah harga mati untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kajian-kajian lainnya mungkin dapat melengkapi solusi yang ditawarkan. Satu hal yang paling mendasar adalah mencari solusi berpijak pada akar masalah.
2. Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan
3. Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
4. Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing - masing.
5. Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
6. Memotivasi timbulnya pemikiran - pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
7. Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
8. Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan.
Pengertian Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah.
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan mutu total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan mutu total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) mutu/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.
Pengertian mutu
Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai . Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Kerangka kerja dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;
Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk : (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional.
* pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
* bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
* pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
Konsekwensi logis dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk:
* mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.
* Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu.
* Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan (pertanggung jawaban kepada stake-holders).
Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman kepada kita bahwa tanggung jawab peningkatan mutu pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.
Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa hanya sekolah yang sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan.
Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif
Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.
Strategi pelaksanan di tingkat sekolah
Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis sekolah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memliki kepedulian terhadap pendidikan sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut :
* Penyusunan basis data dan profil sekolah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
* Melakukan evaluasi diri (self assesment) utnuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personil sekolah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.
* Berdasarkan analisis tersebut sekolah harus mengidentifikasikan kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang bermutu bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
* Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakatnya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek (tahunan termasuk anggarannnya. Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memperhitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahun itu dan tahun-tahun yang akan datang. Perencanaan program sekolah ini harus mencakup indikator atau target mutu apa yang akan dicapai dalam tahun tersebut sebagai proses peningkatan mutu pendidikan (misalnya kenaikan NEM rata-rata dalam prosentase tertentu, perolehan prestasi dalam bidang keterampilan, olah raga, dsb). Program sekolah yang disusun bersama-sama antara sekolah, orang tua dan masyarakat ini sifatnya unik dan dimungkinkan berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya sesuai dengan pelayanan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Karena fokus kita dalam mengimplementasian konsep manajemen ini adalah mutu siswa, maka program yang disusun harus mendukung pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kurikulum nasional yang telah ditetapkan, langkah untuk menyampaikannya di dalam proses pembelajaran dan siapa yang akan menyampaikannya.
Dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini adalah kondisi alamiah total sumber daya yang tersedia dan prioritas untuk melaksankan program. Oleh karena itu, sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dimungkinkan bahwa program tertentu lebih penting dari program lainnya dalam memenuhi kebutuhan siswa untuk belajar. Kondisi ini mendorong sekolah untuk menentukan skala prioritas dalam melaksanakan program tersebut. Seringkali prioritas ini dikaitkan dengan pengadaan preralatan bukan kepada output pembelajaran. Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen tersebut sekolah harus membuat skala prioritas yang mengacu kepada program-program pembelajaran bagi siswa. Sementara persetujuan dari proses pendanaan harus bukan semata-mata berdasarkan pertimbangan keuangan melainkan harus merefleksikan kebijakan dan prioritas tersebut. Anggaran harus jelas terkait dengan program yang mendukung pencapaian target mutu. Hal ini memungkinkan terjadinya perubahan pada perencanaan sebelum sejumlah program dan pendanaan disetujui atau ditetapkan.
* Prioritas seringkali tidak dapat dicapai dalam rangka waktu satu tahun program sekolah, oleh karena itu sekolah harus membuat strategi perencanaan dan pengembangan jangka panjang melalui identifikasi kunci kebijakan dan prioritas. Perencanaan jangka panjang ini dapat dinyatakan sebagai strategi pelaksanaan perencanaan yang harus memenuhi tujuan esensial, yaitu : (i) mampu mengidentifikasi perubahan pokok di sekolah sebagai hasil dari kontribusi berbagai program sekolah dalam periode satu tahun, dan (ii) keberadaan dan kondisi natural dari strategi perencanaan tersebut harus menyakinkan guru dan staf lain yang berkepentingan (yang seringkali merasakan tertekan karena perubahan tersebut dirasakan harus melaksanakan total dan segera) bahwa walaupun perubahan besar diperlukan dan direncanakan sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa, tetapi mereka disediakan waktu yang representatif untuk melaksanakannya, sementara urutan dan logika pengembangan telah juga disesuaikan. Aspek penting dari strategi perencanaan ini adalah program dapat dikaji ulang untuk setiap periode tertentu dan perubahan mungkin saja dilakukan untuk penyesuaian program di dalam kerangka acuan perencanaan dan waktunya.
* Melakukan monitoring dan evaluasi untuk menyakinkan apakah program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan, apakah tujuan telah tercapai, dan sejauh mana pencapaiannya. Karena fokus kita adalah mutu siswa, maka kegiatan monitoring dan evaluasi harus memenuhi kebutuhan untuk mengetahui proses dan hasil belajar siswa. Secara keseluruhan tujuan dan kegiatan monitoring dan evaluasi ini adalah untuk meneliti efektifitas dan efisiensi dari program sekolah dan kebijakan yang terkait dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Seringkali evaluasi tidak selalu bermanfaat dalam kasus-kasus tertentu, oleh karenanya selain hasil evaluasi juga diperlukan informasi lain yang akan dipergunakan untuk pembuatan keputusan selanjutnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program di masa mendatang. Demikian aktifitas tersebut terus menerus dilakukan sehingga merupakan suatu proses peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Penutup
Beragamnya kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan kondisi geografi
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program, sekolah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.inilah yang dapat lebih diandalkan untuk mengembangkan pikiran menjadi lebih baik sampai menyatu dalam sikap, sehingga baru menjadi suatu tingkat kesadaran.
Proses pendidikan itu sendiri bisa ditempuh melalui dua cara dalam lingkungan yang berbeda, yaitu:
1. Pendidikan Formal
Yang dimaksud dengan pendidikan formal adalah proses pendidikan dengan cara dan dalam lingkungan sekolah.
Pendidikan formal sangat memegang peranan penting dalam proses mengembangkan pikiran seseorang, sehingga karena itu pula seorang Taoyupun diharapkan berpendidikan yang tinggi.
Adapun alasannya adalah karena pendidikan disekolah:
* Membentuk dasar atau pondasi cara-cara / pola berpikir yang sistematis dan konseptual secara konsisten dan terarah.
* Mengajarkan banyak disiplin ilmu dengan berbagai teori-teori dan ilmu pengetahuan yang ada sehingga wawasan dan pengetahuan menjadi banyak dan luas.
* Melatih dan menanamkan sikap mental dan emosional yang matang, dewasa dan mandiri. Sehingga bisaanya seorang yang berpendidikan tinggi lebih dapat mengendalikan sikap dan emosinya secara baik.
* Menanamkan disiplin belajar yang sangat tinggi, sehingga seseorang yang berpendidikan akan lebih terbisaa untuk belajar dan belajar lagi.
Dalam ruang lingkup bahwa pendidikan formal ini sangat penting, pernah ada perdebatan sebagai berikut:
Debat :
Jawab : Oh..., tentu saya setuju sekali!
Debat : Jika demikian maka sekolah itu sebenarnya tidak penting bahkan hanya membuang waktu dan biaya, yang paling penting adalah praktek dan pengalaman! Bukankah demikian?
Jawab : ..........
Bagaimana jawaban anda?
Pendidikan formal memang penting, tetapi tentunya bisa disadari bahwa sekolahpun bukan satu-satunya tempat untuk mendapatkan pendidikan, selain itu pendidikan formal yang ada itupun harus disadari bukan sebagai hal yang paling mutlak sekali. Masih banyak hal yang tidak bisa didapatkan hanya dari pendidikan formal saja dan banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi sikap mental dan cara / pola berpikir seorang individu diluar sekolah.
2. Pendidikan Non-formal
Ini adalah segala pendidikan yang didapat diluar pendidikan formal. Dapat dikatakan bahwa kehidupan didalam masyarakatlah (termasuk keluarga) yang merupakan bangku sekolah dari pendidikan non-formal ini.
Oleh karenanya pendidikan non-formal ini bersifat tak terbatas dan bisaanya cenderung bersifat hal-hal yang praktis.
Di dalam masyarakat inilah seseorang menjalani kehidupan yang sebenarnya, terjun dan mempraktekkan segala kemampuan berpikir, bersikap dan bersosialisasi secara nyata dalam lingkungannya.
Disini pula seseorang akan mendapatkan pendidikan dalam sangat banyak hal serta pengalaman pribadi dan akan lebih melengkapi dirinya dari apa yang tidak didapatkan dari bangku sekolahnya.
Konsep rumus meningkatkan mutu pendidikan seperti yang telah diuraikan di atas salah satu solusi yang terabaikan. Konsep lama itu bukanlah harga mati untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kajian-kajian lainnya mungkin dapat melengkapi solusi yang ditawarkan. Satu hal yang paling mendasar adalah mencari solusi berpijak pada akar masalah.
Peserta utusan dari
SMKN 2 Payakumbuh
ttd
Drs. Effian Riz
NIP. 131759630